hariansurabaya.com | SURABAYA – Mempersiapkan Indonesia Emas dengan fokus pada generasi emas, yaitu anak-anak yang sehat dan cerdas, adalah tujuan yang mulia. Namun, tantangan yang dihadapi, seperti perundungan (bullying) di kalangan remaja, dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut. Terutama ketika perundungan menyebar melalui media sosial (Medsos), dampaknya bisa lebih luas dan merusak.
Menurut Isa Ansori, seorang pemerhati pendidikan dan perlindungan anak di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, akar permasalahan perundungan lebih banyak terkait dengan latar belakang ekonomi. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini harus bersifat pemberdayaan dan partisipatif. Bagaimana kita dapat mengatasi masalah ekonomi? Isa menekankan bahwa pendekatan bukan hanya dari atas ke bawah (top down), tetapi juga melibatkan masyarakat secara aktif. Masyarakat harus diberdayakan agar dapat berkreasi dalam mengatasi masalah mereka sendiri.
Pemerintah memiliki peran sebagai fasilitator, bukan hanya memberikan bantuan sosial (bansos) secara langsung. Isa menyarankan agar pemerintah memfasilitasi masyarakat agar dapat berkreasi. Misalnya, bukan hanya memberikan makanan gratis secara langsung, tetapi memastikan masyarakat memiliki akses dan kesempatan untuk menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, konsep ini tidak hanya memenuhi kebutuhan elit, tetapi juga memberdayakan seluruh masyarakat.
Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan anak akan menjadi kunci untuk menciptakan generasi emas yang sehat, cerdas, dan berdaya saing. Semoga upaya ini dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
“Problem untuk menjadikan Indonesia Emas itu komplek, tidak sekedar mengenyangkan, memberi gizi, tetapi atmosfir untuk menjadi emas itu juga harus diciptakan. Sehingga berbagai upah harus dilakukan, jangan sampai makan siang gratis, makan gratis, itu menjadi solusi terakhir, kayak iklan apapun makanannya minumnya harus ini,” terangnya.
Membentuk generasi Indonesia emas ini seolah-olah cukup dengan menyediakan makan siang gratis maka akan tercapai emas begitu. Jadi terlihat apapun persoalannya akan selesai dengan makan siang gratis.
Menurut Isa, bahwa ada konsep yang bagaimana menjadikan tahun 2045 menjadi generasi emas. Untuk menguasai teknologi, menguasai peradaban di 2045 itu tidak cukup dengan kenyang, tapi pendidikan harus cukup baik, ga ada artinya makan gratis kenyang kalau lingkungan ga baik, kesehatan ga baik, pendidikan ga baik. Kalau tiga hal ini tidak diciptakan sebagai sebuah ekosistem, maka emas itu akan menjadi berat bukan emas lagi, misalkan menjadi masalah. Sehingga konsep makan gratis sebagai solusi untuk mencapai generasi emas menurut saya terlalu dangkal dan dia tidak memahami konsep menuju Indonesia Emas itu seperti apa.
Isa menuturkan, Negara seharusnya menyediakan fasilitas untuk emas tadi. Jadi Indonesia Emas tadi akan terbentuk kalau adanya Provinsi Emas; Provinsi Emas itu akan terbentuk kalau adanya Kabupaten / Kota emas, kemudian Kabupaten / Kota emas akan terbentuk kalau ada Kecamatan – Kecamatan emas, lalu Kecamatan emas akan terbentuk kalau ada Kelurahan – Kelurahan emas, kemudian Kelurahan emas akan terbentuk kalau ada Keluarga – Keluarga emas. Jadi sebutan Keluarga emas itu menyangkut banyak hal, misalnya ekonominya kayak apa, kesehatannya kayak apa, pendidikannya kayak apa.
Ia melanjutkan, maka bagaimana bisa menciptakan generasi emas, kalau kemudian masyarakat tidak mampu menjangkau kesehatan karena mahal, pendidikan mahal, harga-harga makanan kebutuhan pokok naik.
“Pemerintah menyelesaikan harga naik, dengan diberi makan gratis, tapi makan gratis kan cuman sekali, tidak tiga kali. Yang dikasi makan siapa, orang tuanya bagaimana. Ketika pendidikan orang tua tidak bagus, penghasilannya tidak bagus, justru ini akan menjadi beban negara,” ujarnya.
Sehingga Isa berpendapat, menciptakan Indonesia Emas itu tidak cukup dengan makan gratis, semua harus diselesaikan kaitanya dengan apa yang bisa menuju itu. Layanan pendidikan harus murah, kalau boleh tidak dibilang gratis. Hari ini orang mau sekolah mahal, apalagi masuk perguruan tinggi. Ga punya duit (uang) tidak bisa, maka keluarga miskin jangan bermimpilah, masuk sekolah sekolah yang baik, apalagi jurusan-jurusan yang baik, jangan pernah bermimpi. Sehingga kemudian ada pemeo, orang miskin dilarang sekolah. Karena pendidikan dan kesehatan itu mahal sekarang itu.
“Sebetulnya program pemerintah dengan pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, itu menjadi sebuah keniscayaan untuk menciptakan itu. Kesehatan boleh gratis, pendidikan boleh gratis, tapi harga-harga sembako mahal, sama saja menunggu orang sakit. Maka ada kewajiban pemerintah menyediakan itu semuanya gratis atau paling tidak murah terjangkau. Untuk bisa terjangkau orang bisa membeli, ekonominya harus baik. Ekonomi baik, pendidikan harus baik. Karena ada kewajiban konstitusi sebetulnya pemerintah memudahkan semua masyarakat itu mengakses pendidikan, mengakses kesehatan, tanpa harus membebani kehidupan mereka,” jelasnya.
Isa juga melanjutkan, Kalau bicara pendidikan ideal, tentu susah. Sekarang ini pendidikan kita belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat, contoh Pendidikan Zonasi, zonasi itu kan belum mampu menjawab, anak pintar bisa sekolah karena anak orang miskin, tapi rumahnya jauh dari sekolah, dia tidak akan pernah punya kesempatan untuk sekolah yang baik. Kalau yang baik itu dianggap negeri. Sekolah swasta baik, tidak punya uang, sehingga kalau bicara ideal, saya kira agak susah, tapi bagaimana negara itu memudahkan akses semua. Negara bisa kolaborasi dengan pihak swasta bagaimana memberi pelayanan pendidikan yang baik dan berkualitas.
Isa Ansori menanggapi, Kalau dana makan gratis diambil dari dana pendidikan, malah runtuh. Jepang waktu di bom oleh sekutu, yang ditanya pertama, bukan berapa jumlah tentara, masih berapa sisa guru. Apa artinya, betapa pentingnya pendidikan, bukan persoalan makan, tapi SDM dibangun.
“Jepang begitu runtuh, tapi jumlah guru masih memadai maka tidak lama Jepang mejadi super power. Kalau yang dibangun perutnya ya akan selamanya menjadi budak, menjadi buruh dan apakah negeri ini akan menjadikan warganya menjadi buruh ?. Kayak penjajahan dulu lagi,” ujarnya.
Menurut Isa Ansori, ini harus menjadi bahan renungan kita semua, kesadaran kita semua, bahwa membangun bangsa ini bukan persoalan perutnya saja. Tapi ada persoalan intelektualnya, kecerdasannya, dan atmosfir lingkungan harus di ciptakan yang baik untuk mencapai apa yang disebut dengan kemandirian bangsa yang kita sebut tadi Indonesia Emas.(acs)
Leave a Reply