hariansurabaya.com | SURABAYA – Saat ini mayoritas masyarakat Indonesia tengah risau, akibat kenaikan harga beras yang melonjak tinggi sejak awal tahun 2024. Fenomena kenaikan itu mulai terlihat per 16 Februari 2024, hal ini memicu polemik dalam negeri. Hal ini berdampak langsung pada kondisi perekonomian masyarakat.
Melihat situasi ini, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Sri Herianingrum SE MSi menyebutkan bahwa kenaikan harga beras merupakan masalah yang krusial bagi bangsa ini.
“Ini jelas masalah krusial, terutama beras adalah makanan pokok bagi rata-rata seluruh penduduk Indonesia,” jelasnya kepada tim Unair News. Jumat, (08/3/2024).
Menurutnya untuk mensubstitusi beras dengan makanan lain, kecil kemungkinannya mengingat beras merupakan kebutuhan pokok. Ia juga menekankan terkait pentingnya menjaga stok dan suplai beras kapanpun dan dalam kondisi apapun.
“Jika terjadi kenaikan harga beras, sementara permintaan tetap tapi suplai menurun. Ini mengakibatkan timbul permasalahan dan harus segera teratasi,” terang Prof Sri.
El Nino dan Jelang Ramadan
Lebih lanjut, Pakar Ekonomi UNAIR itu mengatakan bahwa, kenaikan harga beras saat ini karena beberapa faktor. Mulai dari adanya masalah perubahan iklim dan el nino yang mengakibatkan daerah sentra produksi beras terganggu dalam proses produksi gabah hingga menjadi beras.
“Beberapa daerah sentra produksi kebanjiran, sementara yang lain kekeringan akibat kurangnya curah hujan,” ujar Prof Sri.
Selain sebab cuaca, Prof Sri Herianingrum mengatakan lonjakan harga beras semakin naik, salah satunya karena inflasi jelang momen Ramadan. Sehingga harga beras cenderung naik, karena meningkatnya permintaan beras oleh masyarakat.
Menurut analisisnya, tingginya harga beras berdampak pada masyarakat utamanya kelas menengah ke bawah atau grass root. Pasalnya, sehari-harinya saja mereka kesulitan untuk membeli beras dengan kualitas medium bahkan premium, apalagi dengan adanya fenomena ini.
“Hal ini cukup memperhatikan karena (mereka) harus beralih ke makanan yang lebih murah. Padahal substitute atau (pengganti beras) seperti jagung atau tiwul pun mengalami kenaikan harga,” tebarnya.
Kebijakan dan Upaya Ketahanan
Dalam upaya mengatasi permasalahan itu, Prof Sri Herianingrum menegaskan bahwa, kebijakan yang biasa pemerintah lakukan adalah impor beras. Lalu, kebijakan pemerintah dengan BULOG dengan simpanan beras untuk mengatasi situasi dan kelangkaan seperti saat ini melalui program SPHP (Stabilisasi Harga dan Pasokan Pangan).
“Pemerintah membuka kepada kelompok usaha, untuk mengajukan pembelian beras sekian kwintal, beberapa minimarket menjual beras 5 kg seharga 54-55 ribu,” tukasnya.
Terakhir, Prof Sri Herianingrum mengatakan solusi untuk permasalahan ini adalah dengan upaya ketahanan pangan melalui kesejahteraan dan subsidi untuk petani. Menurutnya, selama ini petani seringkali mengalami keterbatasan produksi, mulai dari pengeringan gabah menjadi beras.
Ia menekankan subsidi bantuan petani dari proses input hingga proses distribusi.
“Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada petani hingga masa panen, dengan memberikan alat produksi pertanian, mengintensifkan koperasi bagi Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani),” tutup Prof Sri. (acs)
Leave a Reply